INGKAR SUNNAH
A.       
Pengertian
Ingkar sunnah terdiri dari dua kata yaitu Ingkar
dan Sunnah. Ingkar, Menurut bahasa, artinya “menolak atau mengingkari”, berasal
darikata kerja, ankara-yunkiru.
Sedangkan Sunnah, menurut bahasa
mempunyai beberapa arti diantaranya adalah, “jalan yang dijalani, terpuji atau
tidak,” suatu tradisi yang sudah dibiasakan dinamai sunnah, meskipun tidak baik. Secara definitif Ingkar al-Sunnah
dapat ddiartikan sebagai suatu nama atau aliran atau suatu paham keagamaan
dalam masyarakat Islam yang menolak atau mengingkari Sunnah untuk dijadikan
sebagai sumber san dasar syari’at Islam.[1]
Secara bahasa pengertian hadits dan sunnah sendiri
terjadi perbedaan dikalangan para uama, ada yang menyamakan keduanya dan ada
yang membedakan. Pengertian keduanya akan disamakan seperti pendapat para muhaditsin, yaitu suatu perkataan,
perbuatan, takrir dan sifat Rauslullah saw. Sementara Nurcholis Majid
berpendapat bahwa yang terjadi dalam sejarah Islam hanyalah pengingkaran
terhadap hadits Nabi saw, bukan pengingkaran terhadap sunnahnya. Norcholis
Majid membedakan pengertian hadits dengan Sunnah. Sunnah menurut beliau adalah
pemahaman terhadap pesan atau wahyu Allah dan teladan yang diberikan Rasulullah
dalam pelaksanaannya yang membentuk tradisi atau sunnah. Sedangkan hadits
merupakan peraturan tentang apa yang disabdakan Nabi saw. atau yang dilakukan
dalam praktek atau tindakan orang lain yang di diamkan beliau (yang diartikan
sebagai pembenaran).
Kata “Ingkar Sunnah” dimaksudkan untuk menunjukkan
gerakan atau paham yang timbul dalam masyarakat Islam yang menolak hadits atau
sunnah sebagai sumber kedua hukum Islam.[2]
Menurut Imam Syafi’I, Sunnah Nabi saw ada tiga macam:
1.  Sunnah Rasul
yang menjelaskan seperti apa yang di nash-kan
oleh al-Qur’an.
2. Sunnah Rasul yang menjelaskan
makna yang dikehendaki oleh al-Qur’an. Tentang kategori kedua ini tidak ada
perbedaan pendapat dikalangan ulama.
3.  Sunnah Rasul
yang berdiri sendiri yang tidak ada kaitannya dengan al-Qur’an.[3]
B. Sejarah Ingkar Sunnah
1. Ingkar Sunnah Pada Masa
Periode Klasik
            Pertanda munculnya
“Ingkar Sunnah” sudah ada sejak masa sahabat, ketika Imran bin Hushain (w. 52
H) sedang mengajarkan hadits, seseorang menyela untuk tidak perlu
mengajarkannya, tetapi cukup dengan mengerjakan al-Qur’an saja. Menanggapi
pernyataan tersebut Imran menjelaskan bahwa “kita tidak bisa membicarakan
ibadah (shalat dan zakat misalnya) dengan segala syarat-syaratnya kecuali
dengan petunjuk Rasulullah saw. Mendengar penjelasan tersebut, orang itu
menyadari kekeliruannya dan berterima kasih kepada Imran.
            Sikap penampikan
atau pengingkaran terhadap sunnah Rasul saw yang dilengkapi dengan argumen
pengukuhan baru muncul pada penghujung abad ke-2 Hijriyah pada awal masa
Abbasiyah.[4]
            Di Indonesia, pada
dasawarsa tujuh puluhan muncul isu adanya sekelompok muslim yang berpandangan
tidak percaya terhadap Sunnah Nabi Muhammad SAW. Dan tidak menggunakannya
sebagai sumber atau dasar agama Islam. Pada akhir tujuh puluhan, kelompok
tersebut tampil secara terang-terangan menyebarkan pahamnya dengan nama,
misalnya, Jama’ah al-Islamiah al-Huda,
dan Jama’ah al-Qur’an dan Ingkar Sunnah, sama-sama hanya
menggunakan al-Qur’an sebagai petunjuk dalam melaksanakan agama Islam, baik
dalam masalah akidah maupun hal-hal lainnya. Mereka menolak dan mengingkari sunnah sebagai landasan agama.[5]
            Imam Syafi’i
membagi mereka kedalam tiga kelompok, yaitu : 
- Golongan yang menolak seluruh Sunnah Nabi SAW.
- Golongan yang menolak Sunnah, kecuali bila sunnah memiliki kesamaan dengan petunjuk al-Qur’an.
- Mereka yang menolak Sunnah yang berstatus Ahad dan hanya menerima Sunnah yang berstatus Mutawatir.[6]
Dilihat dari penolakan tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa kelompok pertama dan kedua pada hakekatnya memiliki kesamaan pandangan
bahwa mereka tidak menjadikan Sunnah sebagai hujjah. Para
ahli hadits menyebut kelompok ini sebagai kelompok Inkar Sunnah.
 Argumen kelompok yang menolak
Sunnah secara totalitas
     
Argumen kelompok yang menolak
Sunnah secara totalitas
Banyak alasan yang dikemukakan oleh kelompok ini untuk
mendukung pendiriannya, baik dengan mengutip ayat-ayat al-Qur’an ataupun
alasan-alasan yang berdasarkan rasio. Diantara ayat-ayat al-Qur’an  yang digunakan mereka sebagai alasan menolak
sunnah secara total adalah surat
an-Nahl ayat 89 :
ﻮﻨﺰﻠﻨﺎ ﻋﻠﻳﻚ ﺍﻠﮑﺘﺎﺏ ﺘﺑﻴﺎﻨﺎ ﻠﮑﻞ ﺸﺊ
            “Dan kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an)
untuk menjelaskan segala sesuatu….”
Kemudian surat al-An’am ayat 38 yang berbunyi:
...ﻤﺎﻓﺮﻄﻨﺎ
ﻔﻰ ﺍﻠﺘﺎﺐ ﻤﻦ ﺷﺊ....
          “…Tidaklah kami alpakan
sesuatu pun dalam al-Kitab…”
            Menurut mereka
kepada ayat tersebut menunjukkan bahwa al-Qur’an telah mencakup segala sesuatu
yang berkenaan dengan ketentuan agama, tanpa perlu penjelasan dari al-Sunnah.
Bagi mereka perintah shalat lima
waktu telah tertera dalam al-Qur’an, misalnya surat al-Baqarah ayat 238, surat Hud ayat 114, al-Isyra’ ayat 78 dan
lain-lain.[7]  
            Adapun alasan lain
adalah bahwa al-Qur’an diturunkan dengan berbahasa Arab yang baik dan tentunya
al-Qur’an tersebut akan dapat dipahami dengan baik pula.
 Argumen kelompok yang menolak
hadits Ahad dan hanya menerima hadits Mutawatir.
     
Argumen kelompok yang menolak
hadits Ahad dan hanya menerima hadits Mutawatir.
Untuk menguatkan pendapatnya, mereka menggunakan
beberapa ayat al-Qur’an sebagai dallil yaitu, surat Yunus ayat 36:
ﻮﺍﻦ ﺍﻠﻈﻦ ﻻﻴﻐﻨﻰ ﻤﻦ
ﺍﻠﺤﻖ ﺸﻴﺌﺎ
“…Sesungguhnya persangkaan itu tidak berfaedah
sedikitpun terhadap kebenaran”.
            Berdasarkan ayat di
atas, mereka berpendapat bahwa hadits Ahad tidak dapat dijadikan hujjah atau
pegangan dalam urusan agama. Menurut kelompok ini, urusan agama harus
didasarkan pada dalil yang qath’I yang diyakini dan disepakati bersama
kebenarannya. Oleh karena itu hanya al-Qur’an dan hadits mutawatir saja yang
dapat dijadikan sebagi hujjah atau sumber ajaran Islam.
2. Ingkar Sunnah pada
Periode Modern
            Tokoh- tokoh
kelompok Ingkar Sunnah Modern (akhir abad ke-19 dan ke-20) yang terkenal adalah
Taufik Sidqi (w. 1920) dari Mesir, Ghulam Ahmad Parvez dari India, Rasyad
Khalifah kelahiran Mesir yang menetap di Amerika Serikat, dan Kasasim Ahmad
mantan ketua partai Sosialis Rakyat Malaysia. Mereka adalah tokoh-tokoh
yang tergolong pengingkar Sunnah secara keseluruhan. Argumen yang mereka
keluarkan pada dasarnya tidak berbeda dengan kelompok ingkar sunnah pada
periode klasik.
            Tokoh-tokoh “ Ingkar Sunnah “ yang tercatat di Indonesia
antara lain adalah Lukman Sa’ad (Dirut PT. Galia Indonesia) Dadang Setio Groho
(karyawan[8]
            Sebagaimana
kelompok ingkar sunnah klasik yang menggunakan argumen baik dalil naqli maupun
aqli untuk menguatkan pendapat mmereka, begitu juga kelompok ingkar sunnah Indonesia.[9]
Diantara ayat-ayat yang dijadikan sebagai rujukan adalah surat an-Nisa’ ayat 87 :
            ﻮَﻤﻦ ﺍﺼﺪﻖ ﻤﻦ ﺍﷲ ﺤﺪﻴﺜﺎ
            Menurut mereka arti
ayat tersebut adalah “Siapakah yang benar
haditsnya dari pada Allah”.
Kemudian surat
al-Jatsiayh ayat 6:
ﻓﺒﺄﻱ ﺤﺪﻴﺚ ﺒﻌﺪ ﺍﷲ ﻮﺍﻴﺎﺗﻪ ﻴﺆﻤﻨﻮﻦ
            Menurut mereka arti
ayat tersebut adalah “Maka kepada hadits
yang manakah selain firman Allah dan ayat-ayatnya mereka mau percaya”.
            Selain kedua ayat
diatas, mereka juga beralasan bahwa yang disampaikan Rasul kepada  umat manusia hanyalah al-Qur’an dan jika
Rasul berani membuat hadits selain dari ayat-ayat al-Qur’an akan dicabut oleh
Allah urat lehernya sampai putus dan ditarik jamulnya, jamul pendusta dan yang
durhaka. Bagi mereka Nabi Muhammad tidak berhak untuk menerangkan ayat-ayat
al-Qur’an, Nabi 
Hanya bertugas menyampaikan.
C. Lemahnya Argumen Para
Pengingkar Sunnah
            Ternyata argumen
yang dijadikan sebagai dasar pijakan bagi para pengingkar sunnah memiliki
banyak kelemahan, misalnya :
- Pada umumnya pemahaman ayat tersebut diselewengkan maksudnya sesuai dengan kepentingan mereka. Surat an-Nahl ayat 89 yang merupakan salah satu landasan bagi kelompok ingkar sunnah untuk maenolak sunnah secara keseluruhan. Menurut al-Syafi’I ayat tersebut menjelaskan adanya kewajiban tertentu yang sifatnya global, seperti dalam kewajiban shalat, dalam hal ini fungsi hadits adalah menerangkan secara tehnis tata cara pelaksanaannya. Dengan demikian surat an-Nahl sama sekali tidak menolak hadits sebagai salah satu sumber ajaran. Bahkan ayat tersebut menekankan pentingnya hadits.
- Surat Yunus ayat 36 yang dijadikan sebagai dalil mereka menolak hadits ahad sebagai hujjan dan menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan istilah zhanni adalah tentang keyakinan yang menyekutukan Tuhan. Keyakinan itu berdasarkan khayalan belaka dan tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara ilmiah. Keyakinan yang dinyatakan sebagai zhanni pada ayat tersebut sama sekali tidak ada hubungannya dan tidak da kesamaannya dengan tingkat kebenaran hasil penelitian kualitas hadits. Keshahihan hadits ahad bukan didasarkan pada khayalan melainkan didasarkan pada metodologi yang dapat dipertanggung jawabkan.[10]
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar